Nasehat ulama salaf kepada pemuda Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam.
Sholawat dan salam, semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Nabi
Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba’du:
Berikut ini adalah untaian nasehat yang ditujukan kepada
para pemuda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, yang harus ditulis dalam rangka
andil dalam menasehati kaum muslimin, dan mendamaikan antar Ahlis
Sunnah, sebagaimana dianjurkan dalam banyak dalil-dalil syari'at.
Yang mendorong saya menulis nasehat ini, adalah fenomena
yang dialami banyak pemuda salafiyyin, di berbagai negeri islam, bahkan
di negeri-negeri kafir yang dihuni oleh minoritas kaum muslimin.
fenomena ini berupa perpecahan besar yang disebabkan perbedaan pendapat
dalam beberapa masalah ilmiyyah, dan sikap-sikap kongkrit dalam
menghadapi sebagian orang yang menyelisihi (manhaj ahlusunnah). Juga
Fenomena yang muncul dari permasalahan tersebut berupa pemutusan
hubungan dan pemboikotan (hajr). Bahkan sampai tindakan berlebihan dan
melampaui batas antar ahlu Sunnah hingga fitnahnya membesar dan
bahayanya tampak mengerikan. Hal ini telah menghambat laju perjuangan
dakwah menuju As Sunnah, dan bahkan menghalangi sebagian orang untuk
mengikutinya. Padahal sebelumnya masyarakat umum diberbagai daerah dan
negeri telah menerimanya.
Saya akan ringkas nasehat ini dalam beberapa poin
berikut, dengan mengharap kepada Allah, untuk melimpahkan kepadaku
keikhlasan niat, dan kebenaran dalam ucapan, serta memberikan manfaat
kepada setiap orang muslim yang membacanya.
Pertama :Termasuk salah satu prinsip yang
telah baku dalam agama Islam, bahwa setiap muslim hendaknya berusaha
dengan sungguh-sungguh membenahi diri dan berupaya merealisasikan
keselamatan serta menjauhkan semua yang akan menyebabkan kebinasaan
terhadap dirinya, sebelum menyibukkan diri dengan (kekurangan) orang
lain. Sebagaimana firman Allah :
وَالْعَصْرِ (١)إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي
خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan
mengerjakan amal saleh, dan nasehat- menasehati supaya menetapi
kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al Ashr 1-3).
Allah memberitakan tentang orang-orang yang selamat dari
kerugian (tidak merugi) adalah orang-orang yang terwujud pada dirinya
perangai-perangai (sifat) tersebut. Allah menyebutkan, bahwa mereka
telah merealisasikan pada diri mereka keimanan, dan amal sholeh terlebih
dahulu, sebelum mereka mendakwahi orang lain. Dakwah dengan
nasehat-menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasehat-menasehati
supaya menetapi kesabaran. Inilah dasar penetapan masalah ini.
Demikian juga Allah l telah mencela Bani Isra’il, dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini, dalam firmanNya :
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ (٤٤)
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian,
sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca
Alkitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir? (QS. Al Baqarah :44)
Oleh karena itu, hendaklah setiap pemuda memperhatikan
pembenahan dirinya sendiri, sebelum berusaha membenahi orang lain.
Tatkala dirinya telah mencapai istiqomah dalam hal itu dan menyatukan
antara penerapan ajaran agama pada dirinya dengan perjuangan mendakwahi
orang lain, maka ia benar-benar berada diatas petunjuk salaf dan Allah
akan melimpahkan kemanfaatan dari (dakwah) nya. Mereka menjadi da’i
kepada As Sunnah dengan ucapan dan perilakunya. Dan sungguh demi Allah,
inilah kedudukan tertinggi yang bila seseorang berhasil mencapainya,
maka ia termasuk hamba Allah yang paling baik kedudukannya pada hari
kiamat.
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (٣٣)
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang
yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan
berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fusshilat:33)
Kedua : Hendaknya diketahui, bahwa yang
benar-benar dikatakan sebagai Ahlis Sunnah adalah mereka yang
menjalankan dengan sempurna (ajaran) agama islam, baik secara idiologi
(I'tikad), ataupun perilaku (Suluk).
Satu kesalahpahaman, bila yang dianggap sebagai Ahlis
Sunnah atau seorang Salafy, adalah orang yang merealisasikan Aqidah
Ahlis Sunnah semata, tanpa memperhatikan sisi perilaku, adab-adab islam
dan menunaikan hak-hak antar sesama muslim.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada akhir kitab “Al Aqidah Al Wasithiyyah” setelah
menyampaikan pokok ajaran Ahlu Sunnah dalam I'tikad berkata: “Kemudian
mereka (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip
ini: Saling memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang
mungkar sesuai tuntutan syari’at. Mereka memandang penunaian ibadah
haji, jihad, sholat jum’at, sholat ‘id, bersama para pemimpin
(penguasa), baik pemimpin yang baik (adil) ataupun yang jahat. Mereka
senantiasa menegakkan sholat berjama’ah dan menjalankan tanggung jawab
memberikan nasehat kepada ummat.
Mereka juga meyakini makna sabda Nabi:
الْمُؤْمِنُلِلْمؤمِنِكَالْبُنْيَانِالْمَرْصُوْصِيَشُدُّبَعْضُهُبَعْضًا
“(permisalan peran) Seorang mukmin terhadap seorang
mukmin lain, bagaikan sebuah bangunan yang kokoh, yang sebagiannya
menopang (menguatkan) sebagian lainnya”. Lalu Rasululloh n menjalin jari-jemarinya dan sabda Rasululloh n :
مَثَلُالْمُؤْمِنِينَفِيتَوَادِّهِمْوَتَرَاحُمِهِمْوَتَعَاطُفِهِمْكَمَثَلِالْجَسَدِالْوَاحِدِإِذَااشْتَكَىمِنْهُعُضْوٌتَدَاعَىلَهُسَائِرُالْجَسَدِبِالْحُمَّىوَالسَّهَرِ
Permisalan kaum mukminin dalam kecintaan, lemah
lembut dan kasih sayang seperti satu tubuh, apabila satu anggota tubuh
sakit maka seluruh tubuhnya merasakan demam dan tidak bisa tidur. (Muttafaqun 'Alaihi).
Mereka memerintahkan untuk sabar, tatkala ditimpa
cobaan (kesusahan) dan bersyukur tatkala mendapatkan kelapangan serta
ridho dengan perjalanan takdir yang pahit. Mereka menyeru kepada
akhlaq-akhlaq mulia, dan amal-amal terpuji dan meyakini makna sabda
Nabi:
أَكْمَلُالْمُؤْمِنِيْنَإِيْمَانًاأَحْسَنُهُمْخُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya”.
Mereka senantiasa menganjurkan untuk menyambung
(hubungan dengan) orang yang memutuskan hubungan denganmu, dan memberi
orang yang enggan memberimu, memaafkan orang yang menzalimimu. Mereka
juga saling memerintahkan untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang
tua, juga untuk bersilaturahmi dan berbuat baik kepada tetangga.
Mereka juga melarang perangai berbangga diri, sombong,
melampaui batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang
dibenarkan atau tidak.
Mereka senantiasa memerintahkan agar komitmen dan menjaga akhlaq terpuji dan mencegah dari akhlaq tercela.
Senua perkataan dan perbuatan mereka dari hal-hal
tersebut diatas, atau lainnya, mereka senantiasa mengikuti Al Kitab (Al
Qur’an) dan As Sunnah, dan jalan hidup mereka adalah agama islam yang
dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad”.
Ketiga : Diantara tujuan agung yang
dianjurkan agama islam (untuk dicapai), ialah mengajak manusia untuk
menganut agama ini, sebagaimana Nabi e sampaikan kepada sahabat Ali
ketika mengutusnya ke Khaibar (yaitu pada saat perang Khaibar):
(لأَنْيَهْدِيَاللهُبِكَرَجُلاًوَاحِدًاخَيْرٌلَكَمِنْحُمْرِالنَّعَمِ) أخرجهالشيخان،البخاري،برقم: (4210)،ومسلمبرقم: (2406).
“Seandainya Allah memberi petunjuk denganmu seseorang saja, itu lebih baik bagimu dibanding (memiliki) unta merah”.(HR Bukhory no:4210, dan Muslim 2406).
Oleh sebab itu, orang-orang yang telah di karuniai
mendapatkan hidayah (petunjuk) kepada (mengamalkan) As Sunnah, hendaknya
bersungguh-sungguh mendakwahi orang yang masih tersesat dari As Sunnah,
atau kurang perhatian dengannya. Mendakwahi mereka agar benar-benar
merealisasikan As Sunnah. Hendaknya mereka menempuh segala daya dan
upaya yang dapat ia lakukan, dalam menuntun manusia dan mendekatkan
pintu hati mereka untuk menerima kebenaran.
Hal itu dengan cara mendakwahi mereka dengan lemah
lembut, sebagaimana firman Allah tatkala berbincang-bincang kepada Nabi
Musa dan Harun :
Artinya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun,
sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut". (QS. Thaha: 43-44)
Juga dengan cara memanggilnya dengan julukan-julukan yang
sesuai dengan kedudukannya. Sebagaimana dahulu Nabi e ketika menulis
surat kepada Hiraqlius, dengan bersabda:
إِلَىهِرَقْلَعَظِيْمِالرُّوْمِ
“kepada Hiraql, Pemimpin Romawi”.
Beliau juga memberikan kuniyyah kepada Abdillah bin Ubai bin Salul dengan “Abil Habbab”.
Demikian juga dengan bersabar dalam menghadapi kekerasan
sikap orang yang didakwahi, dan membalasnya dengan perilaku baik, dan
janganlah tergesa-gesa menuntut mereka untuk segera menerima kebenaran?
Allah berfirman :
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang
mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul (ulul ‘Azmi) telah bersabar
dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka”.
Keempat : Hendaknya para pelajar
(Tholabatul Ilmi), terutama para da’i, dapat membedakan antara Al
Mudarah dan Al Mudahanah. Karena AL Mudarah adalah suatu hal yang
dianjurkan, yaitu: sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana
disebutkan dalam kitab “Lisanul ‘Arab”: “Bersikap Mudarah terhadap orang
lain adalah dengan beramah-tamah kepada mereka, berhubungan dengan cara
yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, agar mereka tidak
menjauh darimu”.([1]) Sedangkan Al Mudahanah (menjilat) adalah sikap tercela, yaitu sikap (mengorbankan) agama, Allah berfirman :
]ودوالوتدهنفيدهنون[القلم 9
Artinya : Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). (QS. Al Qolam :9).
Al Hasan Al Bashry menafsirkan makna ayat ini dengan
berkata: “ Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dihadapan
mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dihadapanmu”.
(Tafsir AL baghowy 4/377).
Dengan demikian, orang yang bersikap mudarah akan berlemah lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikitpun dari prinsip agamanya, sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.
Sungguh dahulu Nabi e, merupakan figur paling baik
akhlaqnya, dan paling lemah lembut terhadap umatnya, dan ini sebagai
perwujudan sisi lemah lembut, dan ramah tamah dari perangai beliau. Di
sisi lain, beliau adalah orang paling kuat dalam (mengemban) agama
Allah, sehingga beliau tidak akan meninggalkan prinsip agama, barang
satupun, walau dihadapan siapapun, dan ini adalah perwujudan sisi
keteguhan hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama. Dan sisi
perangai beliau ini sangat bertentangan dengan sikap mudahanah (menjilat).
Hendaknya para pelajar, memperhatikan perbedaan antara
kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan, bahwa bersikap
ramah-tamah kepada orang lain, dan berlemah lembut, sebagai tanda lemah
dan luluh dalam (mengemban perintah) agama. Disaat yang lain, ada yang
beranggapan bahwa: sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan, dan
berdiam diri tatkala melihat kesalahan, adalah bagian dari sikap
ramah-tamah (Ar rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini
adalah, salah, dan tersesat dari kebenaran. Hendaknya hal ini
benar-benar diperhatikan dengan baik, karena kesalah pahaman pada
permasalahan ini, sangat berbahaya, dan tiada yang dapat terlindung
darinya, kecuali orang-orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) dan
petunjuk dari Allah.
Kelima : Seorang juru dakwah, dalam
berdakwah kepada manusia, memiliki dua metode yang diajarkan dalam
syari’at, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak dalil, yaitu: metode
menarik simpati dan targhib (menganjurkan), dan metode hajer
(memboikot/menjauhi) dan mengancam. Sehingga salah bila seseorang
bersikap monoton (hanya menerapkan satu metode) kepada setiap orang.
Akan tetapi hendaknya ditempuh metode yang paling
berguna dan sesuai dengan masing-masing pelanggar (orang yang
menyeleweng), sehingga lebih besar harapan untuk ia dapat menerima
kebenaran, dan kembali kepada jalan yang lurus. Apabila dengan metode
menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat, dan lebih besar harapannya
bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka
metode inilah yang disyari’atkan (dibenarkan) dalam menghadapi orang
tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila metode hajer (memboikot) lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka metode inilah yang disyari’atkan.
Kesimpulannya: barang siapa yang menerapkan metode
menarik simpati, terhadap orang yang selayaknya dihajer (diboikot), maka
ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barang siapa yang menerapkan
metode hajer (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya, maka ia telah berlaku munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “(Syari’at)
menghajer, berbeda-beda sejalan dengan perbedaan orang yang
menerapkannya, dipandang dari kuat, tidaknya, dan sedikit, banyaknya
jumlah mereka; karena tujuan dari (penerapan) hajer (boikot) adalah
menghardik orang yang dihajer (diboikot), memberi pelajaran kepadanya,
dan agar masyarakat umum meninggalkan kesalahan tersebut.
Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan yang dipetik
dari sikap hajer (boikot) lebih besar (dibanding dengan kerugiannya),
sehingga dengan ia diboikot, kejelekan menjadi melemah, dan sirna, maka
pada saat itulah hajer (boikot) disyariatkan.
Akan tetapi bila orang yang diboikot, dan orang lainnya
tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah, sedangkan
pelaku hajer (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang
ditimbulkan lebih besar dibanding maslahatnya, maka pada keadaan yang
demikian ini, tidak disyariatkan hajer (boikot).
Bahkan menarik simpati sebagian orang itu lebih berguna
dibanding memboikotnya, dan memboikot sebagian lainnya, lebih berguna
dibanding menarik simpatinya. Oleh karena itu, dahulu Nabi e menarik
simpati sebagian orang, dan memboikot sebagian lainnya…
Yang demikian ini, sebagaimana halnya menghadapi musuh,
kadang kala disyariatkan peperangan, dan kadang kala perdamaian, dan
kadang kala dengan cara mengambil jizyah (upeti), semua itu disesuaikan
dengan situasi dan kemaslahatan.
Jawaban para imam, seperti imam Ahmad dan lainnya,
tentang permasalahan ini, didasari oleh prinsip tersebut”. (Majmu’
Fatawa 28/206).
Beliau menjelaskan kesalahan orang yang menyama ratakan
dalam menerapkan hajer (boikot) atau menarik simpati, tanpa
memperhatikan prinsip tersebut diatas, dengan berkata: “Sesungguhnya
sebagian orang menjadikan hal tersebut (hajer atau menarik simpati)
sebagai suatu keumuman, sehingga mereka menghajer atau mengingkari orang
yang tidak disyariatkan, tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan.
Dan mungkin saja dikarenakan kesalahan ini, menyebabkannya meninggalkan
hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan, dan akibatnya ia melanggar
hal-hal yang diharamkan.
Dan disisi lain ada sebagian orang yang berpaling dari
itu semua, sehingga ia enggan untuk membaoikot (menjauhi) sesuatu yang
diperintahkan untuk diboikot (dijauhi), yaitu berupa hal-hal buruk lagi
bid’ah”. (Majmu’ Fatawa 28/213).
Keenam : Sepantasnya setiap orang yang
hendak menerapkan masalah hajer (boikot) untuk memperhatikan
ketentuan-ketentuan dalam syari’at, yang telah digariskan oleh para
ulama’ yang berkompeten dalam hal ini. Sehingga melalui
ketentuan-ketentuan tersebut benar-benar terbedakan dengan jelas, antara
pelaku kesalahan yang disyari’atkan (layak) untuk diboikot dari orang
yang tidak layak. Ketentuan-ketentuan tersebut, diantaranya, ialah :
1. Yang berkaitan dengan pemboikot.
Yaitu hendaknya orang yang kuat, memiliki pengaruh,
sehingga pemboikotan yang ia lakukan menimbulkan pengaruh, yang berupa
teguran terhadap pelaku kesalahan. Adapun bila pemboikot adalah orang
yang lemah, maka boikot yang ia lakukan tidak akan membuahkan hasilnya
Ketentuan ini berlaku bila tujuan pemboikotan adalah untuk memberikan pelajaran kepada pelaku kesalahan.
Adapun bila tujuannya ialah demi menjaga kemaslahatan
pemboikot, yaitu karena ditakutkan akan timbul kerusakan dalam urusan
agamanya, bila ia bergaul dengan pelaku kesalahan, maka ia dibenarkan
untuk memboikot setiap orang yang akan mendatangkan kerugian baginya,
bila ia bergaul atau duduk-duduk dengannya.
Yang demikian ini, dikarenakan hajer (boikot)
disyariatkan demi mencapai kemaslahatan pemboikot, yaitu dengan cara
memboikot setiap orang yang bila ia bergaul dengannya akan merusak
agamanya, Sebagaimana disyariatkan demi mencapai kemaslahatan orang yang
diboikot, yaitu dengan cara memboikot pelaku kesalahan, yang diharapkan
akan mendapat pelajaran, bila diboikot.
Dan hajer (boikot) juga disyariatkan, demi mencapai
kemaslahatan masyarakat banyak, yaitu dengan cara memboikot sebagian
pelaku kesalahan, sehingga masyarakat, menjadi jera dan takut untuk
melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka. Dan banyak dalil yang
menunjukkan setiap macam dari ketiga jenis pemboikotan ini.
2. Yang berkaitan dengan orang yang diboikot.
Yaitu apabila ia akan mendapatkan manfaat dengan
terjadinya pemboikotan atas dirinya, sehingga ia terpengaruh dan kembali
kepada kebenaran. Adapun bila tidak mendapatkan manfaat dengannya,
bahkan kadang kala semakin bertambah jauh dan menentang, maka tidak
disyariatkan untuk memboikotnya. Dan hal ini bisa saja kembalinya kepada
tabi’at yang dimiliki oleh sebagian orang; kuat, keras, dan enggan
untuk tunduk kepada orang lain, walau tabiat ini akan menjadikannya
binasa. Nah orang semacam ini tidak akan mendapatkan pelajaran dari
hukuman, dan boikot, akan tetapi kadang kala dapat dipengaruhi dengan
cara menarik simpati, dan sikap ramah tamah.
Ada kalanya yang menyebabkan ia tidak mendapatkan manfaat
dari pemboikotan adalah adanya kendala-kendala lain, misalnya, karena
ia adalah seorang pemimpin, atau kaya raya, atau orang yang memiliki
kedudukan sosial di masyarakat. Orang-orang semacam mereka, biasanya
tidak akan berguna bila diboikot, karena mereka biasanya merasa tidak
butuh terhadap orang yang memboikotnya. Oleh karena itu dahulu Nabi e
menarik simpati para pemimpin yang ditaati dikaumnya, begitu juga pemuka
masyarakat, seperti halnya Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishn, Al Aqra’ bin
Habis, dan yang serupa dengan mereka.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu,
dahulu Nabi e menarik perhatian sebagian orang, dan memboikot sebagaian
lainnya, sebagaimana halnya tiga orang sahabat yang tidak ikut (dalam
perang Tabuk), ketiga-tiganya lebih baik bila dibanding kebanyakan
orang-orang yang ditarik perhatiannya. Hal ini dikarenakan mereka
(orang-orang yang ditarik perhatiannya) adalah para pemimpin, lagi
ditaati di kabilah masing-masing …”. (Majmu’ Fatawa 28/206).
3. Yang berkaitan dengan jenis pelanggaran.
Tidak ada jenis pelanggaran yang dapat dikatakan: bahwa
pelakunya selalu diboikot, dalam situasi apapun, atau selalu tidak
diboikot, dalam situasi apapun. Sebagaimana anggapan sebagian orang
bahwa setiap perbuatan bid’ah pasti diboikot, sedangkan perbuatan
maksiat, tidak, atau bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya
diklaim kafir) diboikot, sedang selainnya tidak, atau dosa-dosa besar
diboikot, sedang dosa-dosa kecil tidak.
Yang benar adalah, disyariatkan memboikot setiap (pelaku)
kesalahan, walaupun kecil, apabila ia adalah orang yang layak untuk
dihajer (diboikot) dan ia akan mendapatkan manfaat dengannya. Dengan
demikian yang menjadi inti permasalahan dalam hal ini ialah; apakah
pelaku pelanggaran tersebut mendapatkan manfaat dari pemboikotan atau
tidak, tanpa memperhatikan besar kecilnya pelanggaran. Sehingga mungkin
saja seorang yang sholeh, pengagung As Sunnah, diboikot, hanya karena
kesalahan kecil, sebagaimana halnya Nabi e memboikot sebagian
sahabatnya, karena sebagian pelanggaran kecil. Sebagai contoh, beliau
memboikot ‘Ammar bin Yasir t tatkala menggunakan minyak za’faran. (HR
Abu Dawud dalam kitab As Sunnan 5/8), dan beliau tidak menjawab
ucapan salam seorang sahabat yang memiliki kubah, hingga ia
menghancurkannya. (HR Abu dawud, 5/402).
Dan kadang kala tidak disyariatkan memboikot sebagian
pelaku pelanggaran besar, yang tingkat kesholehan pelakunya jauh dibawah
orang-orang yang diboikot. Sebagai contoh Nabi e menarik simpati Al
Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Hishn, bahkan beliau menarik simpati
sebagian orang munafiqin, semacam Abdullah bin Ubai, dan yang serupa
dengannya. Semua ini sesuai dengan kemaslahatan dan mempertimbangkan
ketentuan-ketentuan lain dalam masalah pemboikotan.
4. Yang berkaitan dengan waktu dan tempat terjadinya pelanggaran
Hendaknya dibedakan antara tempat dan waktu yang banyak
terjadi pelanggaran dan kemungkaran, sehingga pelakunya memiliki
kekuatan, dengan tempat dan waktu yang jarang terjadi pelanggaran,
sehingga kekuatan pelakunya lemah.
Sehingga apabila kekuatan diwaktu dan tempat tersebut
berada ditangan Ahli Sunnah, maka disyariatkan untukmenghajer
(memboikot), tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya,
disebabkan pelaku pelanggaran dalam keadaan lemah, sehingga ia akan
menjadi jera dengan pemboikotan tersebut. Sebagaimana firmankan tentang
kisah sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya:
]حتىإذاضاقتعليهمالأرضبمارحبتوضاقتعليهمأنفسهموظنواأنلاملجأمناللهإلاإليه … [سورةالتوبة 118.
Artinya: “hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi
mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula
terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada
tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. (QS At Taubah
118).
Sebagaimana teguran dan pendidikan, berhasil dicapai
melalui pemboikotan sahabat Umar bin Khotthab beserta seluruh ummat,
terhadap Shobigh bin ‘Asal, sebagaimana telah diketahui bersama.
Adapun apabila kekuatan pada suatu waktu dan tempat
berada ditangan orang-orang jahat, dan penjaja kebatilan, maka tidak
disyari’atkan pemboikotan; -kecuali pada momen-momen tertentu- karena
pemboikotan pada saat seperti ini tidak akan dapat merealisasikan
tujuannya, berupa pendidikan, dan teguran, bahkan dimungkinkan
orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran akan mengalami hal-hal
yang tidak diinginkan.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu
hendaknya dibedakan antara tempat-tempat yang banyak terjadi
praktek-praktek bid’ah, sebagaimana halnya yang terjadi di kota Bashrah
banyak orang-orang yang mengingkari taqdir (Qodariyah), di kota Khurasan
banyak ahli nujum, dan di kota Kufah banyak orang-orang Syi’ah, dengan
tempat-tempat yang tidak demikian halnya. Dan hendaknya dibedakan antara
para pemimpin yang memiliki pengikut, dengan lainnya. Dan apabila telah
diketahui tujuan syari’at, maka hendaknya ditempuh jalan tercepat untuk
mencapai tujuan tersebut”. (Majmu’ Fatawa 28/206-207).
5. Yang berkaitan dengan masa pemboikotan.
Hendaknya masa pemboikotan disesuaikan dengan keadaan
pelaku pelanggaran dan jenis pelanggaran, karena ada orang-orang yang
sudah jera bila diboikot selama satu hari, dua hari , satu bulan atau
dua bulan, dan ada orang-orang yang butuh waktu lebih lama. Dan apabila
tujuan pemboikotan telah tercapai, maka harus dihentikan, karena kalu
tidak, yang terjadi adalah rasa putus asa dan putus harapan. Sebaliknya,
bila masa pemboikotan kurang dari yang selazimnya, maka tidak akan ada
gunanya.
Tatkala Ibnu Qayyim menyebutkan faedah-faedah yang dapat
disimpulkan dari kisah pemboikotan Nabie terhadap sahabat ka’ab bin
Malik dan kedua kawannya, beliau berkata: “ Dalam kisah ini terdapat
dalil bahwa pemboikotan seorang pemimpin, atau ulama’ atau pemuka
masyarakat, terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran yang
mengharuskan untuk dicela (diboikot). Hendaknya pemboikotan tersebut
merupakan obat, yaitu dengan cara yang dapat merealisasikan perbaikan
(penyembuhan), dan tidak berlebih, baik dalam jumlah atau metode,
sehingga dapat membinasakan orang tersebut, karena tujuannya
(pemboikotan) adalah untuk memberikan pendidikan, bukan membinasakan”.
(Zad Al Ma’ad 3/20).
Ketujuh : Mengingkari pelaku
pelanggaran, dan membantahnya, dalam rangka menunaikan kewajiban
menasehati orang tersebut, dan menjaga masyarakat dari kesalahannya,
adalah salah satu prinsip baku Ahlis Sunnah, bahkan hal ini termasuk
macam jihad paling mulia. Akan tetapi, harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan dalam syari’at, dan syarat-syarat yang telah
ditetapkan, sehingga dengan cara ini, dapat dicapai tujuan syari’at dari
pngingkaran dan bantahan tersebut. Diantara ketentuan dan syarat
tersebut, ialah:
1- Hendaknya pengingkaran tersebut dilakukan dengan penuh
rasa ikhlas, niat yang jujur lagi murni hanya karena ingin
memperjuangkan kebenaran. Diantara konsekwensi keikhlasan dalam hal ini,
ialah: Ia senang bila pelaku pelanggaran mendapatkan petunjuk, dan
kembali kepada kebenaran, dan ia menempuh segala usaha yang dapat ia
lakukan, agar hati pelaku pelanggaran tersebut dapat terbuka, bukan
malah menjadikannya semakin jauh. Dan hendaknya ia berdoa secara khusus
untuk orang tersebut, agar Allah memberi petunjuk kepadanya, apabila ia
dari kalangan Ahli Sunnah, atau selain mereka. Sungguh Nabi e dahulu
mendoakan sebagian orang kafir, agar mendapat petunjuk, maka bagaimana
halnya bila ia dari kalangan kaum muslimin yang bertauhid (tentu lebih
pantas untuk didoakan).
2- Hendaknya bantahan terhadap orang tersebut dilakukan
oleh seorang ulama’ yang benar-benar telah mendalam ilmunya, sehingga ia
menguasai dengan detail, segala sudut pandang dalam permasalahan
tersebut, yaitu, yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at, keterangan
para ulama’ dalam masalah tersebut, dan sejauh mana tingkat
penyelewengan pelanggar tersebut. Dan juga sumber munculnya syubhat pada
orang itu, dan keterangan para ulama’ seputar cara mematahkan syubhat
tersebut, serta mengambil pelajaran dari keterangan mereka dalam hal
ini.
Hhendaknya orang yang membantah memiliki kriteria: dapat
mengemukakan dalil-dalil yang kuat ketika mengemukakan kebenaran, dan
mematahkan syubhat, ungkapan-ungkapan yang detail, agar tidak nampak,
atau dipahami dari perkataannya suatu kesimpulan yang tidak sesuai
dengan yang ia inginkan. Karena bila orang yang membantah tidak memiliki
kriteria ini, niscaya yang terjadi adalah kerusakan besar.
3- Hendaknya tatkala membantah, diperhatikan perbedaan
tingkat pelanggaran, kedudukan baik dari segi agama ataupun sosial yang
ada pada orang-orang tersebut. Begitu juga motivasi pelanggaran, apakah
karena kebodohan, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah,
atau ungkapannya yang kurang baik, atau salah mengucap, atau
terpengaruh oleh seorang guru atau lingkungan masyarakatnya, atau karena
memiliki takwil, atau tujuan-tujuan lain yang ada pada pelanggaran
terhadap syari’at.
Barang siapa membantah pelaku pelanggaran, dengan tidak
memperdulikan dan tidak memperhatikan terhadap perbedaan-perbedaan ini,
niscaya ia akan terjerumus kedalam tindak ekstrim (berlebih-lebihan)
atau sebaliknya (kelalaian), yang akan menjadikan perkataannya tidak
atau kurang berguna.
4- Hendaknya tatkala membantah, senantiasa berusaha
mewujudkan maslahat (tujuan) syari’at dari tindakan tersebut. Sehingga
apabila tindakannya tersebut justru mendatangkan kerusakan yang lebih
besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak
disyari’atkan untuk membantah. Karena suatu kerusakan tidak dibenarkan
untuk ditolak dengan kerusakan lebih besar.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak dibenarkan
menolak kerusakan kecil dengan kerusakan besar, juga tidak dibenarkan
mencegah kerugian ringan dengan melakukan kerugian yang lebih besar.
Karena syari’at Islam (senantiasa) mengajarkan agar senantiasa
merealisasikan kemaslahatan, dan menyempurnakannya, juga melenyapkan
kerusakan dan menguranginya, sedapat mungkin. Singkat kata; bila tidak
mungkin untuk disatukan antara dua kebaikan, maka syari’at islam
(mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu juga halnya dengan dua
kejelekan, bila tidak dapat dihindarkan secara bersamaan, maka kejelekan
terbesarlah yang dihindarkan”. (Al Masail Al Mardiniyyah 63-64).
5- Hendaknya bantahan, disesuaikan dengan tingkat
tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga apabila suatu kesalahan hanya
muncul di suatu negri, atau masyarakat, maka tidak layak bantahannya
disebar luaskan ke negri atau masyarakat yang belum mendengar kesalahan
tersebut, baik melalui penerbitan kitab, atau kaset, atau sarana-sarana
lainnya. Karena menyebar luas bantahan, berarti secara tidak langsung
menyebar luaskan pula kesalahan tersebut. Sehingga bisa saja ada orang
yang membaca atau mendengarkan bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat
(kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, dan tidak merasa
puas dengan bantahan itu.
Sehingga menghindarkan masyarakat dari mendengarkan
kebatilan dan kesalahan, lebih baik daripada mereka mendengarkannya, dan
membantahnya kemudian. Sungguh ulama’ terdahulu, senantiasa
mempertimbangkan hal ini dalam setiap bantahan mereka. Banyak sekali
kita dapatkan kitab-kitab mereka yang berisikan bantahan, mereka hanya
menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan kebenaran, yang merupakan
kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa menyebutkan kesalahan itu.
Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka, yang belum dicapai
oleh sebagian orang zaman sekarang.
Pembahasan yang telah diutarakan, berkaitan dengan
menebarkan bantahan di negri yang belum dijangkiti kesalahan, sama
halnya pembahasan tentang menebarkan bantahan di tengah-tengah
sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia
tinggal di negri yang sama. Sehingga tidak seyogyanya menebarkan
bantahan, baik melalui buku atau kaset, ditengah-tengah masyarakat yang
tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan itu.
Betapa banyak orang awam yang terfitnah, dan terjatuh ke
kubang keraguan tentang dasar-dasar agama, akibat mereka membaca
buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.
Maka hendaknya orang-orang yang menebarkan buku-buku
bantahan ini, takut kepada Allah, dan berhati-hati, agar tidak menjadi
penyebab terfitnahnya masyarakat, dalam urusan agama mereka.
Dan diantara yang paling mengherankan saya ialah;
sebagian pelajar, membagi-bagikan sebagian buku bantahan, kepada
sebagian orang yang baru masuk islam, orang-orang yang keislamannya baru
berjalan beberapa hari atau bulan, kemudian mereka mengarahkannya agar
membaca buku tersebut. Alangkah mengherankan sekali tindakan mereka.
6- Hukum membantah pelaku kesalahan, ialah fardhu
kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama’ yang melaksanakannya,
dan dengan bantahan dan peringatan yang ia lakukan, telah terealisasi
tujuan syari’at, maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama’ telah
gugur. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama’ dalam
permasalahan hukum fardhu kifayah.
Adalah termasuk kesalahan, tatkala ada seorang ulama’
membantah seorang pelaku kesalahan, atau fatwa yang memperingatkan dari
kesalahan seseorang, banyak pelajar menuntut ulama’ lainnya, juga para
pelajar lainnya agar menyatakan sikap mereka terhadap ulama’ pembantah
tersebut dan pelaku kesalahan yang dibantah, atau fatwa itu. Bahkan
tidak jarang para pelajar pemula, bahkan juga masyarakat awam, untuk
menyatakan sikapnya terhadap ulama’ pembantah dan pelaku kesalahan
tersebut.
Terlebih dari itu semua, mereka kemudian menjadikan
permasalahan ini sebagai asas wala’ dan bara’ (loyalitas dan
permusuhan), dan akhirnya yang terjadi saling menghajer (memboikot)
hanya karena perkara ini.
Bahkan kadang kala sebagian pelajar memboikot sebagian
gurunya (syeikhnya), yang selama bertahun-tahun ia menimba ilmu darinya,
hanya dikarenakan permasalahan ini pula. Dan kadang kala pula, fitnah
ini menyusup kedalam keluarga, sehingga engkau dapatkan seseorang
memboikot saudaranya, seorang anak bersikap tidak sopan terhadap orang
tuanya, bahkan kadang kala, seorang istri diceraikan dan anak-anak
menjadi terpisah-pisah, hanya karena permasalahan ini.
Dan bila engkau melihat fenomena yang menimpa masyarakat,
niscaya engkau akan mendapatkan mereka terpecah menjadi dua kelompok
atau bahkan lebih. Setiap kelompok membidikkan berbagai tuduhan, dan
akhirnya saling memboikot. Semua ini terjadi dikalangan orang-orang yang
menisbatkan dirinya kepada As Sunnah (Ahlis Sunnah), yang sebelumnya
setiap kelompok tidak dapat mencela akidah dan manhaj kelompok lain,
sebelum terjadinya perbedaan ini. Fenomena ini kembalinya kepada
kebodohan yang sangat tentang As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah),
kaidah-kaidah mengingkari (kemungkaran) menurut Ahlis Sunnah, atau
kepada hawa nafsu (yang diturutkan), kita memohon kepada Allah
perlindungan dan keselamatan.
Kedelapan : Ulama’ Ahlis Sunnah yang telah
terkenal akan keselamatan akidah dan jasanya dalam memperhuangkan As
Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), hendaknya senantiasa dijaga kehormatannya,
diperhatikan kedudukannya, tidak sepatutnya dicela, atau diklaim
sebagai pelaku bid’ah, atau dituduh mengikuti hawa nafsu, atau fanatis,
hanya karena memiliki kesalahan dalam berijtihad.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak diragukan
lagi, bahwa kesalahan seseorang dalam permasalahan yang detail, akan
diampuni, walaupun kesalahan tersebut tergolong dalam
permasalahan-permasalahan ilmiyyah (akidah). Kalau kita tidak bersikap
demikian, niscaya kebanyakan ulama’ akan binasa (tidak dihargai
jasanya). Apabila Allah mengampuni orang yang tidak mengetahui bahwa
khomer adalah haram, dikarenakan ia hidup disuatu masyarakat bodoh,
padahal ia tidak pernah menuntut ilmu, maka seorang ulama’ yang
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, sesuai dengan yang ia peroleh
dimasa dan tempat ia berada, apabila ia benar-benar bertujuan mengikuti
(ajaran) Rasulullah sedapat mungkin, tentua ia lebih berhak untuk
diterima Allah kebaikannya dan mendapatkan pahala atas usaha dan
jasanya, dan diampunkan kesalahannya. hal ini sebagai realisasi dari
firman-Nya:
]ربنالاتؤاخذناإننسيناأوأخطأنا[. البقرةالآية 286
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa atau bersalah”. (Majmu’ fatawa 20/165).
Pada kesempatan lain beliau juga berkata: “Ini adalah
keyakinan ulama’ salaf (terdahulu), dan para imam ahli fatwa, seperti
Abu Hanifah, As Syafi’i, Ats Tsaury, Dawud bin Ali, dan lainnya. Mereka
tidak menganggap berdosa orang yang salah dalam berijtihad, baik dalam
permasalahan-permasalahan prinsip (ushul), atau cabang (furu’). Hal ini
sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Hazem dan lainnya, dan mereka berkata:
inilah pendapat yang dikenal dari kalangan para sahabat, pengikut mereka
dalam kebaikan (tabi’in), dan para imam agama. mereka tidaklah
mengkafirkan, juga tidak menfasikkan, juga tidak menganggap berdosa,
seorang ahli ijtihad yang salah (dalam berijtihad), tidak dalam
permasalahan amaliyah, juga tidak dalam masalah ilmiyah (akidah). Mereka
beralasan, bahwa membedakan antara permasalahan-permasalahan furu’
(cabang) dengan permasalahan-permasalahan ushul (prinsip) hanyalah
pendapat ahlil bid’ah, dari kalangan orang-orang penganut ilmu kalam
(filsafat), mu’tazilah, jahmiyyah, dan pengikut mereka”. (Majmu’ fatawa
19/207).
Kita menegaskan hal ini, bukan berarti kita tinggal diam,
tidak menasehati ulama’ tersebut bila ia melakukan kesalahan, bahkan
menasehatinya adalah sebuah kewajiban setiap orang yang mengetahui
kesalahannya, dan sikap ini termasuk bakti dan perilaku baik kepadanya.
Akan tetapi sudah barang tentu nasehat harus dilakukan dengan cara
ramah, lembut, metode yang sesuai dengan kedudukannya dalam keilmuan dan
perjuangannya.
Kemudian bila ia bertaubat, meninggalkan kesalahannya,
dan meralat kesalahannya, maka ia diterima, dan tidak dibenarkan lagi
untuk membicarakannya, tidak juga mencelanya karena kesalahan tersebut,
juga tidak dibenarkan kita meragukan kesungguhannya dalam bertaubat.
Namun bila ia tidak bertaubat, dikarenakan masih memiliki
alasan tertentu, atau syubhat yang menghalanginya untuk mengetahui
kebenaran, maka hendaknya dilihat; apabila kesalahan tersebut hanya
terbatas pada dirinya sendiri, maka tanggung jawab kita telah selesai
dengan menasehatinya, akan tetapi jika kesalahan tersebut telah
menyebar, maka hendaknya masyarakat diperingatkan dari kesalahan itu,
dengan tetap menjaga kehormatan ulama’ tersebut.
Sepantasnya pada kesempatan ini, kita senantiasa
mengingat kewajiban menjaga dua prinsip besar: Pertama: Kewajiban
bersikap tulus demi kebenaran, Kedua: Kewajiban menjaga kehormatan
ulama’. kedua prinsip ini menurut Ahlis Sunnah tidaklah saling
bertentangan, dan tidak dibenarkan untuk membesar-besarkan salah
satunya, walau harus dengan mengabaikan yang lainnya.
Cinta kepada ulama’, menjaga kedudukan mereka, tidak
berarti tinggal diam melihat kesalahan mereka, dan tidak
memperingatkannya. Bersikap tulus demi kebenaran, dan mengingatkan
kesalahan seorang ulama’, tidak berarti mencela dan memakinya, akan
tetapi kedua prinsip ini dapat digabungkan oleh setiap orang yang
mendapatkan bimbingan dari Allah.
Barang siapa yang mengetahui metode ulama’ dalam
mengingatkan kesalahan sebagian mereka, tanpa diserta celaan, niscaya ia
akan mengetahui hakikat permasalahan ini, dan bukti-bukti nyata
perkataan ini banyak sekali didapatkan dalam perkataan ulama’.
Kesembilan: Ahlul Bid’ah yang menyelisihi
Akidah Ahlis Sunnah, dan manhaj (metode) mereka dalam berdalil,
mengajar, mendidik, dan berdakwah ke jalan Allah, serta mengikuti hawa
nafsu. Mereka juga tidak menjadikan ulama’ Ahlis Sunnah sebagai suri
tauladan, bahkan sebaliknya, malah mencela, dan mencemooh mereka, bahkan
menganggap diri mereka lebih utama dibanding para ulama’ Ahlis Sunnah.
Mereka ialah mubtadi’ah (ahli bid’ah) lagi sesat, sepantasnya untuk
diperangi dengan cara menjelaskan kepada seluruh masyarakat, keburukan
jalan mereka, penyelewengan mereka dari As Sunnah. Juga dengan membantah
mereka, dan memperlakukan mereka dalam segala kondisi dengan perlakuan
terhadap Ahlul Bid’ah.
Akan tetapi, hal ini tidak menghalangi kita untuk
mendakwahi mereka kepada kebenaran, dan bila dianggap akan menyebabkan
mereka kembali kepada As Sunnah, maka diadakan diskusi antara ulama’
dengan mereka, yaitu diskusi dengan cara-cara yang baik.
Hendaknya kita selalu waspada, agar tidak
mencampur-adukkan antara sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi
Ulama’ Ahlis Sunnah, -walau mereka memiliki kesalahan- yaitu kewajiban
menjaga kedudukan dan kehormatan mereka, sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas, dengan sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi
ulama’ Ahlil Bid’ah, yang seyigyanya diboikot, dan diperingatkan dari
mereka agar dijauhi. Yang demikian ini, dikarenakan kesalahan ulama’
Ahlis Sunnah, merupakan hasil dari usaha mereka dalam mencapai
kebenaran, dengan menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil.
Sedangkan kesalahan ulama’ Ahlil Bid’ah, ialah hasil dari hawa nafsu,
penyelewengan, dan tidak menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam
berdalil, sehingga sangat jauhlah perbedaan antara keduanya.
Permasalahan ini, merupakan titik perbedaan antara Ahlis
Sunnah dan Ahlil Bid’ah. Dan dengan ini pula seorang yag cerdas dan jeli
dapat memahami, sebab kenapa para ulama’ Ahlis Sunnah yang memiliki
kesamaan pendapat dengan sebagian Ahlil bid’ah dalam beberapa keyakinan
mereka, tidak diklaim sebagai ahlil bid’ah.
Kesepuluh : Saya menutup nasehat ini
dengan menyebutkan beberapa anjuran ringan dan faedah-faedah berharga,
yang saya rasa bila diamalkan, akan mendatangkan pahala besar dan
kedudukan tinggi disisi Allah. Saya menyeru saudara-saudaraku untuk
mengamalkannya, dan senantiasa memperhatikannya, terlebih-lebih pada
masa ini, masa yang banyak tersebar fitnah, hawa nafsu diumbar,
kebodohan merajalela, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dan
petunjuk Allah.
1. Wahai penganut As Sunnah, ketahuilah: jika anda
benar-benar penganut As Sunnah, sekali-kalii tidak akan merugikanmu,
tipu daya yang ditujukan kepadamu oleh seluruh penghuni langit dan bumi,
dan anda tidak akan dapat terusir dari (jalan) As Sunnah, hanya karena
tuduhan mereka kepada anda, sebagai pelaku bid’ah. Sebaliknya, jika anda
adalah pelaku kesesatan dan peyelewengan –dan saya memohonkan
perlindungan kepada Allah untuk anda, agar anda tidak menjadi demikian-
niscaya tidak berguna bagimu disisi Allah, pujian seluruh manusia, dan
****batan mereka bahwa anda adalah penganut As Sunnah, serta sanjungan
mereka kepada anda dengan berbagai julukan palsu, -bila realitanya Allah
telah mengetahui tentang hakikat diri anda sebagaimana yang anda
ketahui sendiri- oleh karena itu hendaknya anda tidak berdusta pada diri
sendiri. Hendaknya cukup sebagai peringatan bagimu pada situasi seperti
ini, wasiat Nabi e kepada Ibnu Abbas,([2]) dan hadits tiga orang yang akan pertama kali dimasukkan kedalam api neraka,([3]) semoga Allah melindungi saya dan anda darinya.
2. Ketahuilah bahwasannya ulama’ Ahlis Sunnah yang
mendalam (kokoh) ilmunya, dapat mencapai kedudukan tinggi dan menjadi
pemimpin (imam) dalam keagamaan –selain karena taufiq (bimbingan) Allah
kepada mereka- dikarenakan kesabaran dan keyakinan mereka. Allah Ta’ala
berfirman:
]وجعلنامنهمأئمةيهدونبأمرنالماصبرواوكانوابآياتنايوقنون[
“Dan Kami jadikan dari mereka imam-imam (para pemimpin),
yang memberi petunjuk dengan urusan Kami, tatkala mereka bersabar, dan
mereka yakin dengan ayat-ayat Kami “.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam urusan agama akan dicapai”.
Dan yang dimaksud dari keyakinan ialah; kekuatan dalam
ilmu, yang dilandasi oleh dalil yang benar, pemahaman lurus. Bukan
(sebagai keyakinan) apa yang dianut oleh sebagian pelajar, berupa sikap
pasrah dalam berilmu dengan taklid kepada seorang ulama’, atau pelajar
lain, atau dakwaan bahwa kebenaran akan selalu bersama ulama’ tersebut,
dan tidak ada yang memahami As Sunnah dengan baik, kecuali dia.
Dan yang dimaksud dari kesabaran ialah; kegigihan dan
keuletan dalam menuntut ilmu, dengan disertai pengamalan, dan mengisi
seluruh waktunya, siang dan malam dengan hal tersebut. Berbeda halnya
dengan orang-orang yang lemah semangat, dan lebih senang dengan santai,
pasrah kepada gejolak hawa nafsu, sehingga ia tidak memiliki semangat
untuk belajar, juga tidak untuk beramal.
3. Ketahuilah bahwasannya mengklaim orang lain
dengan kafir, mubtadi’, dan fasik, merupakan hak Allah, oleh karenanya
jangan sekali-kali anda mengkalaim dengan kafir, atau mubtadi’ atau
fasik orang yang tidak layak diklaim demikian, walaupun ia telah
mengklaim anda dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik. Karena
sesungguhnya Ahlis Sunnah tidak membenarkan untuk membalas kezaliman
pelaku kesalahan dengan kezaliman. Akan tetapi metode membalas kezaliman
dengan kezaliman, merupakan perangai Ahlil Bid’ah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang-orang
Khowarij selalu mengkafirkan Ahlis Sunnah wal Jama’ah, demikian juga
Mu’tazilah, mereka mengkafirkan setiap orang yang bertentangan
dengannya, demikian pula halnya Rafidhoh (Syi’ah). Kalaupun mereka tidak
mengkafirkan, tapi mereka mengklaim dengan fasik …..Sedangkan Ahlis
Sunnah, senantiasa mengikuti kebenaran yang datang dari Tuhan mereka,
kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah e. Dan mereka tidaklah
mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dalam kebenaran itu. Akan
tetapi mereka adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran, dan
paling sayang terhadap manusia”. (Minhajus Sunnah 5/158).
4. Janganlah sekali-kali anda memboikot saudaramu
yang telah memboikotmu, bila pemboikotan terhadapnya tidak dibenarkan
secara syari’at. Akan tetapi hendaknya anda selalu memulai mengucapkan
salam kepadanya, berusaha menarik simpatinya. Berusahalah untuk
menghapuskan syubhat yang menyebabkannya memboikot anda. Bila ia tetap
berpaling darimu, maka janganlah anda berkeyakinan dalam hati anda bahwa
anda dibenarkan untuk memboikotnya. Dan janganlah anda menyibukkan diri
anda dengan terus berusaha mendekatinya, karena anda telah terbebas
dari dosa memutus hubungan, sedangkan dia akan bertanggung jawab atas
tindakannya itu.
5. Celaan orang lain terhadap anda, bisa saja
dengan cara menjelek-jelekkan pribadi anda, dan bisa dengan cara
menisbatkan -dengan dusta- kepada anda suatu perkataan yang bertentangan
dengan keyakinan Ahlis Sunnah. Maka apabila yang mereka lakukan adalah
menjelek-jelekkan pribadi anda, misalnya dengan mengatakan: Ia orang
sesat, bodoh, tidak paham, maka janganlah sekali-kali anda membela diri.
Karena bila anda membela diri, niscaya anda akan terjerumus kedalam tazkiatun nafsi (memuji diri sendiri), dan sikap seperti ini merupakan kebinasaan yang nyata.
Ada seseorang yang menjelek-jelekkan seorang Imam dengan
suatu ucapan, maka Imam itu hanya menjawab: “(Tuduhan) Anda tidak
terlalu jauh”. Dahulu Ahlil Bid’ah senantiasa mensifati pribadi ulama’
Ahlis Sunnah dengan berbagai kedustaan, akan tetapi mereka tidak pernah
memperdulikannya, Yang mereka lakukan hanyalah membantah kesalahan
mereka dalam urusan agama, dan menasehati masyarakat umum. Oleh karena
itu hendaknya kita menjadikan mereka suri tauladan dalam hal ini.
Adapun bila ia menisbatkan suatu perkataan sesat,
misalnya dengan mengatakan: Si fulan berkata demikian, demikian, dan
menisbatkan kepadamu suatu perkataan yang tidak pernah anda ucapkan,
maka anda cukup membantah ****batan tersebut, agar pada kemudian hari
tidak ada yang menisbatkan perkataan tersebut kepada anda. Dan para
ulama’ senantiasa menjelaskan kepada masyarakat tentang
perkataan-perkataan yang tidak pernah mereka ucapkan, yang dinisbatkan
kepada mereka. Dan sikap ini sama sekali bukan termasuk kedalam sikap
memuji diri sendiri, bahkan merupakan nasehat kepada masyarakat.
Sehingga sangat jelas perbedaan antara contoh ini dengan
contoh sebelumnya. Oleh karena itu hendaknya anda berpegang teguh dengan
ajaran ulama’ salaf dalam hal semacam ini. Dan janganlah anda
menyerupai sebagian orang bodoh, yang bila dituduh dengan suatu tuduhan,
ia langsung menebarkan keseluruh penjuru dunia, berbagai pujian, dan
sanjungan terhadap dirinya, Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. dan yang terakhir:
6. Ketahuilah bahwa setiap manusia akan menjadi
semakin besar (kedudukannya) dalam bidang amalannya masing-masing,
sehingga jika anda berpegang teguh dengan As Sunnah, niscaya kedudukan
anda semakin hari, akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda
akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) As Sunnah, Allah Ta’ala
berfirman:
]وجعلنامنهمأئمةيهدونبأمرنالماصبرواوكانوابآياتنايوقنون[السجدة 24
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan
adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (Qs As Sajdah 24).
Dan sebaliknya, jika anda mengamalkan bid’ah, niscaya
kedudukan anda semakin hari akan semakin besar, dan tidak akan lama
lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) bid’ah. Allah Ta’ala
berfirman :
]قلمنكانفيالضلالةفليمددلهالرحمنمدا[مريم 75
“Katakanlah:"Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan,
maka biarlah Rabbnya yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya”. (QS
maryam 75).
Dan setelah Allah mensifati Fir’aun beserta kaumnya dengan kesombongan, Dia berfirman:
]وجعلناهمأئمةيدعونإلىالنار[القصص 42
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka”. (QS Al Qhashash 41).
Maka silahkan anda memilih untuk diri anda, suatu amalan yang esok anda senang bila menjadi pemimpin dalamnya.
Inilah dan hanya Allah Ta’ala-lah yang lebih tahu, dan
semoga Allah senantiasa melimpahkan sholawat, salam dan keberkahan atas
hamba dan rasul-Nya Muhammad …
Ditulis oleh:
Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaily
Selesai ditulis di kota Madinah
pada tanggal 8/10/1424 H.
([1]) Lisanul ‘Arab 14/255.
([2]) Maksud
beliau: Wasiat Nabi e yang bermaknakan: “Dan ketahuilah seandainya
seluruh umat bersatu, guna mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan
dapat mencelakakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan
akan menimpamu, dan (sebaliknya) seandainya mereka bersatu untuk
memberimu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya,
kecuali sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu”. (HR Ahmad, At
Tirmizy, Al Hakim). (pent)
([3]) Ketiga
orang tersebut ialah: Orang yang memiliki ilmu tentang Al Qur’an (hafal
Al Qur’an), tetapi menginginkan dari ilmunya agar dikatakan sebagai
ahli bacaan (seorang ulama’), Orang yang memiliki harta kekayaan dan
bersedekah agar dikatakan dermawan, dan orang yang berjihad dan mati
dalam peperangan agar dikatakan pemberani. Sebagaimana disebutkan dalam
HR At Tirmizy, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. (pent) salamdakwah